Kisah Dewis Akbar Pencetus Lab Komputer Mini
Ketika banyak orang membayangkan “pelajaran komputer,” mereka biasanya akan melihat ruangan ber-AC, deretan layar menyala, dan anak-anak yang sibuk mengetik.
Tapi di sebagian besar sekolah pinggiran Jawa Barat, komputer hanyalah gambar di buku tulis. Guru menggambarkan layout keyboard di papan, anak-anak menyalin ke buku tulis, lalu jam pelajaran usai, tanpa satu pun tombol pernah disentuh.
Di sebuah SD kecil tempat Dewis Akbar dulu bersekolah, guru TIK pernah berkata, “Nanti kalau lab komputer jadi, kalian akan belajar pakai komputer sungguhan.”
Tapi lab itu tidak pernah lahir. Yang ada hanya ruangan kosong penuh bangku lipat, dengan gembok tua yang kini berkarat. Dewis tumbuh bersama janji yang tidak pernah ditepati.
Ia baru menyadari betapa timpang akses teknologi itu ketika kuliah. “Anak kota bisa kenal komputer dari TK. Saya baru ngerti cara save file saat SMA,” kenangnya sambil tertawa kecil. Meski tawa itu lebih mirip bekas luka. Keterlambatan bukan soal kemampuan, melainkan kesempatan yang tak pernah datang.
Rasa Tertinggal yang Tidak Sempat Diterjemahkan
Sewaktu ingin ikut lomba desain saat SMA, ia batal karena bahkan meng-install font saja tidak tahu caranya. “Bukan karena saya malas belajar,” katanya, “tapi tidak ada pintu masuknya.” Ia merasa seperti seseorang yang dipaksa berlari dalam pertandingan, padahal start-nya masih diikat ke tiang.
Bertahun kemudian, setelah ia mulai sering mendampingi kegiatan literasi di kampung-kampung, luka lama itu terulang. Anak-anak di desa masih mengalami hal yang sama, “belajar teknologi tanpa teknologi.”
Itulah momen kecil yang mengubah sikapnya. Ia kemudian belajar merakit PC, mencari solusi portable, membaca dokumentasi open source, dan akhirnya meracik gagasan: Lab Komputer Mini
Sebuah versi ringkas dari laboratorium komputer yang bisa masuk ke ruang kelas mana pun, bahkan ke balai RW kecil.
Dimulai dari Dua Mini PC dan Harapan yang Mendadak Hidup
Pada hari pertama ia membawa set mini-lab ke sebuah madrasah, anak-anak menyambut seakan sedang melihat robot dari masa depan. “Ini… bisa disentuh, Kak?” tanya seorang anak.
Dewis mengangguk.
Dari situlah ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sewaktu kecil, wajah penuh keingintahuan.
Anak-anak itu tidak langsung mahir, tetapi mereka berani mencoba. Ada yang salah klik, ada yang bingung menggerakkan mouse, ada yang terlalu takut menekan tombol. Namun Dewis hanya tersenyum. Baginya, proses itu jauh lebih penting daripada hasil.
“Kalau dulu saya punya kesempatan kayak gini…” katanya pelan, “hidup saya mungkin start-nya tidak seterlambat itu.”
Bertumbuh Tanpa Ruang, Tapi Penuh Makna
Lab Komputer Mini tidak lahir dari modal besar. Tidak ada sponsor awal, tidak ada proyek prestisius, tidak ada panggung. Yang ada hanya tekad kecil dan dua unit komputer murah.
Dari satu sekolah pindah ke sekolah lain. Kadang ditaruh di meja guru, kadang di ruang perpustakaan kecil, kadang hanya di ujung kelas yang disekat papan tulis. Tapi di mana pun ia ditempatkan, ia selalu bekerja dan membuka pintu akses.
Guru-guru mulai ikut belajar. Orang tua pelan-pelan memahami bahwa teknologi tidak selalu berarti “game” atau “kecanduan HP.” Dan, anak-anak mulai punya bahasa baru untuk membayangkan masa depan mereka.
Saat yang Paling Menggetuk Hati
Suatu kali seorang siswa kelas 5 bertanya.
“Kak, nanti kalau saya besar, saya bisa bikin komputer juga tidak?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi itulah saat Dewis sadar yang ia bangun bukan sekadar fasilitas, melainkan rasa percaya bahwa anak desa juga punya hak untuk bermimpi setara.
Dewis Akbar Menjadi Finalis SATU Indonesia Award di Bidang Teknologi
Lab Komputer Mini terus berkembang. Sekolah demi sekolah, desa demi desa. Hingga akhirnya cerita tentang inisiatif ini terdengar lebih jauh dari perkiraan.
Saat beberapa relawan teknologi menyarankan Dewis untuk mendaftar SATU Indonesia Award, ia sempat ragu, karena merasa apa yang dilakukannya tidak berarti apa-apa.
Tapi semuanya berubah saat dirinya terpilih sebagai penerima SATU Indonesia Award kategori Teknologi dari Astra untuk wilayah Jawa Barat. Pengakuan bahwa gerakan yang lahir dari luka masa kecil bisa berubah menjadi jembatan bagi masa depan anak-anak lain.
Bagi siapa pun yang ingin tahu bagaimana proses seleksi, mentor, hingga dukungan pasca-penghargaan, informasi resminya sangat terbuka melalui laman SATU Indonesia Awards di https://satuindonesiaawards.astra.co.id di mana banyak cerita lain seperti Dewis yang juga bermula dari keresahan pribadi, bukan koneksi atau fasilitas.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Dewis?
Bahwa tidak semua perubahan butuh teknologi tinggi. Kadang, perubahan hanya butuh seseorang yang cukup peduli untuk memulai.
Bahwa tidak semua masalah harus menunggu fasilitas besar; beberapa justru bisa dimulai dari meja kecil dan dua komputer portable. Dan, bahwa luka masa kecil, bila dirawat, bisa tumbuh menjadi jembatan bagi masa depan orang lain.
Jika Kamu Juga Punya Gerakan…
Jika kamu pun sedang merintis sesuatu untuk komunitasmu, sebesar atau sekecil apa pun, jangan simpan sendirian. Ada banyak ruang pembelajaran, pendampingan, dan jejaring yang bisa kamu akses.
Mekanisme pendaftarannya sangat ringan dan terbuka, lengkap di https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2024/mekanisme/ untuk siapa pun yang ingin mengukur dampak karyanya dan membawanya naik kelas. Tentunya, bukan hanya untuk trofi, tapi untuk memperluas manfaatnya.
Karena sama seperti Dewis, mungkin kamu juga merasa hal yang sedang kamu lakukan sekarang tampak kecil dan belum berarti, padahal bisa jadi itulah pintu pertama yang membuka harapan untuk orang lain, meski kamu belum melihat hasilnya hari ini.


Post a Comment for "Kisah Dewis Akbar Pencetus Lab Komputer Mini"